Wednesday, December 30, 2009




Wisata hati
Icha Koraag

Kabut tipis menggantung rendah di atas danau perasaanku
dinginnya terasa sampai ke sukmaku.
Namun sebanding dengan keindahan yang ku dapat.
bukan kulihat tapi kurasa.

Saat hatiku terbalut biru
kabut tipis bagai horizon halus
setipis asap mengusap
lembut menyenangkan

Anak-anak sungai di sudut mataku
telah mengering
seiring tawarnya rasa sakit
akan luka batinku

Kini ku bisa tersenyum
mencoba menjadi maklum
walau itu berarti mereda sakit
saat aku berwisata hati.


30 Des 2009

Wednesday, December 16, 2009

"Seorang kawan"

Kicau burung sambut mentari
tanda salam selamat pagi
wangi mawar melati
beri damai di hati

kidung surga dendang di jiwa
bakung merekah di tengah rawa
sepoi angin terus terbawa
Hingga ke dalam raga dan jiwa

Terima kasih Tuhan
atas seorang kawan
bernama Valen
berkati Dia penuh talent

Salam
Icha, 17 Des 2009

Tuesday, December 15, 2009

1.
Daun berguguran jatuh di halaman hati
tetes hujan memendarkan sinar mentari
angin bertiup, membelai semua benda
menyapu debu hingga berterbangan

mataku nanar entah menatap apa
rasanya ringan dan kosong
seringan kapas
seringan bulu ayam

dan melayang......
asap knalpot metromini
menyembur hitam, bau
menyentakku ke alam nyata

Ah lamunanku buyar.
Tadi aku melamun apa yah?
02.
Taman hati tercemar,
bunga bunga menjadi layu
mentari enggan bersinar
sayap kupu-kupu patah
Kumbang bingung
sepotong rumput bergoyang
menandakan masih ada kehidupan

Akankah sayap patah pulih kembali?
Akankah denting melodi cinta terdengar lagi
tuk iringi langkah tarian jiwaku
Tapi sekarang, aku lupa langkahnya.

03.
Ingin ku tata kembali
sepotong hati yang terluka
ingin ku belai dengan seluruh rasa
karena ku tahu, sakit itu

Tak ada yang bisa mengobati
mungkin besok sembuh
tapi sulit melupakan perihnya
karena terasa bagai bilah bambu di ujung jari.

04.
sayup ku dengar suara memanggil
ku tajamkan telinga untuk menyimak
tapi suara itu hilang
tiba-tiba sunyi dan sepi

aku gamang, dimana aku?
05.
Selaksa kata terkumpul sudah
tapi lenyap diujung lidah
bibir terkatup tak mampu
berucap
ada tawa ada luka
aku lelah

Icha Koraag 16 Des 2009
Ekky Marshal Firdaus bin Eddy Macmudi Effendi
Begitu yang terpatri di nisanmu.
17 Maret 1985- 12 Des 2009
Rentang hidupmu di dunia.
Bang Ekky
begitulah Bas dan Van menyapamu
Bunyi Hp di Sabtu pagi 12 Des 2009.
Membawa kabar kepulanganmu.
Rasa sakit tiba-tiba melingkupi tubuh ini.
Kamu memang bukan anak yang lahir dari rahimku
Tapi ibumu adalah kakakku
dan anak ibumu adalah anakku juga.
Sama seperti anakku, anak ibumu.
Ekky
hembusan nafas terakhirmu di pagi yang dingin
menghentikan semua rasa sakit yang mendera tubuhmu
dari kanker stadium 4 sebesar buah kelapa di perutmu.
Kini kamu sudah merdeka dari penderitaanmu.
Tapi terlalu cepat semua berakhir sehingga masih ada rasa tak percaya.
Oktober 2009 ketika kami mendapat kabar
tentang penyakit jahat berdiam ditubuhmu.
Saat itu airmata rasanya sudah habis tertumpah.
Seribu tanya menyerbu benakku, Kok bisa?
Kamu yang tidak minum soda
Kamu yang gemar bermain bola
Kamu yang hobi makan ketupat sayur dan semur masakan ibu
Mengidap kanker...... ..?
Aku ingin marah...tapi pada siapa?
Kamu sulung dan anak laki-laki satu-satunya.
Aku tahu benar, hancurnya perasaan ibu dan bapakmu.
Karena rasa mereka, sehancur perasaanku.
Harusnya kami gembira.
Karena kamu tak merintih lagi.
Harusnya kami bahagia karena tak melihat deritamu
Tapi tak bisa karena kami tak bisa melihatmu selamanya.
Ketidak mampuan mengambil sebagian rasa sakitmu
agar kami turut menanggungnya
membuat tubuh ini nyeri dan pedih.
Kami ingin kau bagi rasa sakit itu
agar kami sama menderita denganmu.
Tapi apa daya, itu tak mungkin.
Lantunan doa dan upaya penyembuhanmu terus kami lakukan.
Tak putus kami membangun harapan untuk kesembuhanmu.
Menghidupkan keyakinan kamu akan sehat kembali
Optimis, kamu akan mampu mengalahkan penyakitmu
24 tahun, usia yang relatif muda.
Itu pula yang menyebabkan rasa tidak rela melepasmu
kembali kepangkuan Sang Pemilik Kehidupan.
Tapi bunyi HP di Sabtu pagi 12 Des 2009
membuat tiba-tiba oksigen terasa menipis.
Aku sulit bernapas
sebuah batu besar menekan dadaku
aku tersandar di pintu, tubuhku bagai tak bertulang
merosot hingga terduduk dilantai dingin
sedingin jiwa ini.
Mungkin benar, Tuhan lebih mencintamu
dan aku tak lagi bisa mendengar canda tawamu
tak bisa lihat senyum nakalmu menggoda ibu
atau menggoda dua adikmu.
Juga tak lagi bisa memeluk atau menciummu.
Aku coba meyakinkan rasa di dada ini untukmu
Tapi tetap saja sulit menahan airmata ini
hingga kepalaku menjadi sakit dan berdenyut-denyut.

Seperti keyakinan bapak ibumu,
akupun meyakini
engkau pulang dalam keadaan Chusnul Chotimah.
Terbukti dari senyuman di wajahmu.

Ekky,
kenangan akan kamu ku letakkan
di satu sudut di hati ini.
Rasa sayangku tak pernah berhenti.
Jakarta 14 Des 2009
Tante Icha