Tuesday, September 12, 2006
PENGUNGSI
“Doaku untukmu Aceh, Sumut, Nias, Papua
Poso, Maluku, Jogja dan Jawa Selatan”
Mual rasa diri
Bagai perahu dilambung ombak
Terpecik rasa asin
Antara garam dan darah
Getir
Melilit
Pahit
Bingung
Terasing dilautan
Asap
Api
Bara
Panas
Arang
Abu dan puing yang nampak
Adakah itu berarti bagi tuan?
Bagi kami segalanya.
Jiwa dan raga
Namun kini sudah koyak
Entah bagaimana menisikknya.
Ketika jiwa yang koyak tak lagi dapat menampung asa.
Adakah lara ini Tuan rasa?
Adakah jeritan kami tuan dengar
Airmata kami pun tak lagi berarti.
Kemana kami harus mencari perlindungan?
Haribaan pertiwi tak lagi menjanjikan kedamaian
Ketika bumi tempat kami berpijak
Telah berubah menjadi negeri asing
Kami harus bertarung untuk mendapat sepotong singkong
Dan suara lirih bocah kecil terngiang
“…masih lapar,!”
Haruskah mengangkat senjata lagi, setelah
Negeri ini merdeka 61 tahun?
Lalu apa artinya darah kakek moyang
Yang sudah menjadi alas negeri ini?
Ketika sarana informasi dan teknologi memenuhi jagad maya.
Masih ada pertumpahan darah lantaran beda keyakinan.
Lalu apa artinya toleransi
Yang dihembuskan diawal kemerdekaan negeri ini.
Kalau kawan berubah menjadi lawan.
Aneh bin ajaib,
Konflik menjadi panjang dan tajam
Setelah lebih dari setengah abad Bhineka Tunggal Ika
menjadi pedoman.
Apa artinya Pancasila
Selain berisi 5 sila?
Adakah makna sila-sila itu dipahami?
Atau orang sudah terlalu pandai untuk mempersepsikan
Kebenaran.
Lantaran kebenaran yang hakiki cuma ada di nurani?
Lalu kemana aku harus bertanya?
Adakah kebingunganku menggugah seseorang untuk
Memberikan kejelasan tentang semua ini?
Ataukah negeri ini menunggu untuk dijajah kembali?
Haruskah aku menjadi orang yang tak berTuhan
Karena aku tak lagi ingin berharap.
Karena yang bernama harapan tak pernah singgah di wilayah kami.
Tuhan, dengarkah kau akan derita kami?
Kemana Tuan-tuan yang menjadi kepanjangan tanganMu?
Terlalu sibukkah mereka menyusun program dan kabinet?
Sehingga harapan kami telah punah ketika mereka tiba.
Lalu adakah artinya suara kami ketika memilihnya?
Bukankah tak akan ada sederet angka kemenangan
Jika suara kami terkumpul namun tak memilih.
Kami memilih karena kami masih ingin berharap
Biar sesaat bisa menikmati perubahan.
Yang penting ada kedamaian
bagi anak cucu, biar beda keyakinan.
Karena kami tak pernah tahu
mengapa Tuhan menurunkan Muhammad dan Isa.
Lalu kemana aku harus bertanya?
Adakah kebingunganku menggugah seseorang untuk
Memberikan kejelasan tentang semua ini?
Kedamaian sebuah kampung telah menjadi mimpi
Kebersamaan dalam mengisi hidup telah berubah menjadi nostalgia.
Hidup bergotong royong tinggal dalam tulisan buku pelajaran,
Itu pun setengahnya sudah terbakar.
Desa dan kampung kami tak lagi bernama.
Sawah dan ladang sudah berubah menjadi kubangan.
Kami kini tinggal dibarak,
sambil berusaha tetap berharap.
Ada kedamaian suatu hari kelak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment