Di jendela pesawat pelita
Yang membawaku terbang dari Denpasar menuju Waingapu, Sumba Timur.
Mataku berusaha melihat apa yang terhampar di bawah.
Bukit-bukit batu tampak seperti badan ular
Melingkar-lingkar, sesekali ada yang berwarna putih.
Pesawat terbang merendah
Siap mendarat di lapangan terbang Mau Hau
Pohon kelapa semakin jelas bentuknya.
Dan ujung landasan juga mulai tampak.
Perlahan tapi pasti, pesawat mulai merendah
Dan terasa roda-roda pendaratan sudah keluar
Dulu, naik pesawat terbang hanya mimpi,
Kini karena tugas, nyaris tiap hari aku naik pesawat.
Ketika aku masih bocah usia lima- enam tahun
Setiap terdengar suara pesawat, aku akan melompat kegirangan
Dan melambai. Berharap mereka melihatku.
Begitu juga saat menginjak Waingapu, Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Seperti mimpi.
Ketika SD aku menghafal nama ibu kotanya, nama gubernurnya, nama bandaranya,
Penghasilan utamanya, dan juga nama-nama gunungnya.
Sekarang aku menginjak tanah ini.
Rasa tak percaya itu masih mengusik.
Sejak tanggal 9 Agustus
Aku pergi meninggalkan suami dan kedua anakku.
Ada yang menoreh rasa perih di dada.
Aku pergi karena tugas. Bukan jalan-jalan.
Beberapa hari lalu, aku dari Gorontalo,
Daerah nenek moyang suamiku. Lalu Manokwari.
Papua barat…! Itu derah konflik.
Bahkan aku sempat berfoto di depan tulisan
Dewan Pimpinan Pusat, Gerakan Merah Putih…!
Kawan-kawanku mengira, aku bersenang-senang.
Sudah tentu aku harus punya perasaan senang.
Perasaan itu harus ditimbulkan, harus diciptakan.
Kalau tidak ingin frustasi.
Padahal, kalau mau jujur.
Saat malam menjelang dan terbaring dikamar hotel.
Hati ini ingin menjerit.
Tapi membayangkan saja tidak berani.
Takut mereka,….kedua buah hatiku gelisah dan rewel.
Perempuan mana, yang sudah menjadi seorang ibu
Tidak resah dan gelisah, bila teringat buah hati?
Yang baru berusia 4 dan 1 tahun?
Yang terpaksa ditinggalkan sementara diseberang lautan?
Aku berusaha untuk tidak mengingat mereka.
Tapi salahkah aku…?
kalau terkadang bau tubuh keduanya ada diujung hidung?
Bukan keduanya tapi ketiganya, termasuk bapaknya.
Mengingat bapaknya, aku jadi tersenyum.
Hati ini merasa tenang karena yakin kedua anakku
Ada pada bapaknya
yang pasti melindungi dan merawat mereka.
Walau aku juga tau, banyak bapak-bapak yang tidak ingat
Telah meninggalkan bibit dimana saja.
Jadi jangan heran para ibu mengasihi anak-anak seperti itu
Dengan cara yang luar biasa.
Ketabahan perempuan-perempuan yang terpaksa menjual tubuhnya
Untuk menghangatkan laki-laki yang tak berani berkomitmen
Atau laki-laki yang hobi berpetualang.
Adalah ketabahan yang luar biasa.
Keterpaksaan menjual diri karena tuntutan hidup
Sesuatu yang menakutkan.
Tak ada seorangpun yang mau
Tapi terkadang terasa tak ada jalan lain
Ketika dihadapi tingginya biaya hidup termasuk harga makanan.
Jangan lagi bicara pendidikan, apalagi kesejahteraan seperti sandang dan papan.
Itu cuma ada dalam mimpi indah saat tidur.
Di sini di Sumba
Kemiskinan tampak dari bocah-bocah kecil berpakaian seadanya.
Atau orang-orang yang memikul jerigen dan berjalan 3 km untuk mendapatkan air.
Jadi jangan tanya apa yang mereka lakukan diwaktu luang.
Karena waktu luang bukan milik mereka.
Dan aku masih termangu, ketika penumpang pesawat bersiap turun.
Ini kali kedua aku mendarat di Waingapu.
Dan kali ke sekian aku harus kompromi dengan persaaanku sebagai ibu
Karena meninggalkan kedua buah hatiku saat fajar belum lagi menyingsing.
Sabar nak, dua hari lagi mama pulang!.
Dan aku menarik nafas,
bau mereka ada diujung hidungku.
Agustus 2004
“Yang kucinta Bastiaan & Vanessa”
No comments:
Post a Comment